Selama beberapa dekade, penilaian pendidikan hanya berfungsi sebagai pemeriksaan post-mortem dan bukan sebagai alat untuk pertumbuhan. Tes tradisional memberikan gambaran statis tentang kemampuan siswa—terlambat untuk membantu mereka berkembang. Alih-alih memandu pembelajaran, tes ini sering kali hanya memberi peringkat siswa, dan gagal mendiagnosis bagaimana mereka belajar dan menjadi dewasa. Namun, kebangkitan kecerdasan buatan (AI) mungkin mengubah dinamika ini, membawa kita lebih dekat pada visi penilaian yang secara aktif mengembangkan potensi manusia.
Pergeseran Sejarah: Dari Sortasi ke Budidaya
Keterbatasan pengujian konvensional telah diketahui sejak lama. Pada awal tahun 1950-an, psikolog pendidikan Edmund W. Gordon, yang bekerja sama dengan Else Haeussermann, mengamati bahwa anak-anak yang diberi label “tidak dapat dididik” akan tumbuh subur ketika diberikan dukungan yang disesuaikan dengan kebutuhan, bukan tes yang terstandarisasi. Pendekatan Haeussermann berfokus pada mengidentifikasi kondisi keberhasilan dibandingkan sekadar mendiagnosis defisit. Wawasan mendasar ini—bahwa penilaian harus mengungkapkan potensi, bukan sekadar mengukur apa yang ada—kini ditinjau kembali melalui kacamata AI.
Dari Lampu Periksa Mesin hingga Navigasi GPS
Komisi Gordon untuk Masa Depan Penilaian (2013) berpendapat bahwa tes standar tradisional menciptakan kesenjangan yang dibuat-buat antara pengujian dan pengajaran. Sistem yang ada saat ini bertindak seperti lampu “mesin periksa”—memberi peringatan kepada Anda mengenai suatu masalah lama setelah masalah itu terjadi. Yang dibutuhkan adalah “dasbor GPS” real-time yang memandu pembelajaran, bukan sekadar melaporkan hasil. Hal ini berarti beralih dari sekadar pengukuran sederhana menjadi memahami mengapa seorang siswa mengalami kesulitan, dan intervensi apa yang mungkin dapat membantu.
Pedagogi Dinamis: Pendekatan Terpadu
Kuncinya adalah beralih dari mengevaluasi hasil ke proses pendukung. Daripada sekadar mengukur tanaman untuk menilai kesehatannya, kami mengukur kebutuhannya (air, sinar matahari, tanah) untuk membantunya tumbuh. Prinsip ini diterjemahkan langsung ke dalam pendidikan, melalui strategi seperti pedagogi dinamis —di mana penilaian, kurikulum, dan pengajaran bekerja sama secara mulus. Platform pembelajaran yang didukung AI seperti Khanmigo dan sistem berbasis game telah menunjukkan potensi ini, memberikan masukan secara real-time dan tantangan yang dipersonalisasi.
Variasi Manusia: Kekuatan, Bukan Kebisingan
Pengujian tradisional sering kali gagal memperhitungkan banyaknya perbedaan antarmanusia. Faktor-faktor seperti latar belakang budaya, motivasi, dan gaya kognitif diperlakukan sebagai “kebisingan” yang harus diminimalkan, bukan aset yang harus dimanfaatkan. Pertanyaannya tidak boleh “Seberapa pintar pembelajar ini?” namun “Bagaimana pelajar ini cerdas?” Merangkul keberagaman ini sangat penting untuk pembelajaran yang dipersonalisasi.
Troika Pedagogis: Penilaian, Pengajaran, dan Pembelajaran
Buku Panduan Penilaian dalam Pelayanan Pembelajaran (2025) yang baru-baru ini dirilis memperkuat visi ini melalui metafora bangku berkaki tiga: Penilaian, Pengajaran, dan Pembelajaran. Melepaskan kaki mana pun akan mengganggu kestabilan seluruh struktur. Tanpa umpan balik dan wawasan (penilaian), pembelajaran akan terhambat.
Keharusan AI: Meningkatkan Pembelajaran yang Dipersonalisasi
Meskipun biaya secara historis membatasi pendidikan yang dipersonalisasi, AI kini memungkinkan analisis pedagogis dalam skala besar. AI dapat mendukung “GPS” pembelajaran, memberikan panduan langkah demi langkah, bukan “putusan” akhir. Teknologi ini tidak hanya diinginkan—tetapi juga semakin praktis. Masa depan pendidikan bergantung pada perubahan ini.
Integrasi AI ke dalam penilaian bukan sekadar peningkatan teknologi; ini adalah reorientasi mendasar tentang cara kita memahami pembelajaran itu sendiri. Dengan memprioritaskan wawasan dibandingkan peringkat, dan pertumbuhan dibandingkan penilaian, kami dapat membuka potensi penuh setiap siswa.
